Rabu, 16 Maret 2016

MILEA, SUARA DILAN

MILEA, SUARA DILAN - Hallo sahabat Pidi Baiq Blog, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul MILEA, SUARA DILAN, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : MILEA, SUARA DILAN
link : MILEA, SUARA DILAN

Baca juga


MILEA, SUARA DILAN



"MILEA"
SUARA DILAN
- Seperti yang diceritakan oleh Dilan kepadaku -


(Belum diedit)

BAB I
PENGANTAR BUKU

1
Aku tidak jadi nelepon si Komar, tapi sudah membaca dua buku yang ditulis oleh Pidi Baiq, judulnya “Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990” dan “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991”.

Kebetulan kedua buku itu bercerita tentang kisah asmaraku dengan Lia (Milea Adnan Hussain) pada waktu masih duduk di bangku SMA, tahun sembilan puluhan di Bandung.

Sebetulnya aku tidak ingin berpikir apapun soal itu. Tapi setelah kedua buku itu aku baca, terus terang, aku seperti merasa mendapatkan kehidupanku yang lama sedang kembali. Otomatis semuanya serasa seperti hidup lagi.

Aku juga gak mau menilai lebih jauh mengenai isi bukunya. Tapi waktu kubaca, aku banyak menghabiskan waktu untuk menelaah lebih jauh apa sih yang Lia pikirin, apa sih yang Lia rasakan saat itu. Kukira semua itu bukanlah omong kosong. Itu, buat aku pribadi, sangat menarik, termasuk aku jadi tahu bagaimana dulu Lia memandang diriku melalui apa yang dia ungkapkan.

Meski sebagian besar yang dikatakan oleh Lia pernah Lia ungkapkan sendiri secara langsung ke aku, tapi di buku itu, Lia seperti bercerita dengan tanpa penghalang. Rasanya, gimana ya? Bebas merdeka tanpa tedeng aling-aling.

Di dalam buku itu, aku sendiri menikmati cukup banyak momen-momen berharga yang diceritakan oleh Lia. Sesuatu yang perlu dipertimbangkan kalau aku ingin kembali mengenang. Di sana Lia ngasih tahu bagaimana dia merasakan kembali hal-hal yang sudah lama berlalu. Sampai-sampai aku mengira, dengan buku itu Lia sedang berusaha menggali perasaanku untuk merasakan hal yang sama dengan apa yang dia rasakan saat itu.

Aku tahu tidak ada yang bisa aku lakukan selain menghargai apa yang jadi pendapatnya. Aku memliki rasa hormat setinggi-tingginya untuk mengatakan kepadanya bahwa itu adalah sepenuhnya hak Lia untuk bebas bicara, dan kemudian tetap saja semuanya adalah sejarah.

2
Samasekali gak pernah kuduga kalau kisahku dengan Lia akan ditulis jadi buku. Dan sebetulnya aku malu, karena di buku itu aku ngerasa jadi tokoh utama yang punya kedudukan cukup istimewa, terutama kalau Lia sudah mulai memujiku.

Juga sekaligus jadi risih, karena di situ aku betul-betul jadi kayak orang yang amat dimaui. Seolah-olah, aku ini, yang barusan makan nasi bakar, adalah orang yang paling menakjubkan di dunia dan juga romantis dengan apa yang pernah aku lakukan kepadanya. Sebagian besar yang bisa aku lakukan untuk hal itu adalah cuma tersenyum.

Tapi, kukira, kalau dulu Lia punya sikap macam itu ke aku, harusnya bisa kuanggap sebagai hal yang normal, karena kalau ada orang yang sudah cinta ke kamu, dia hanya akan melihat sisi baikmu. Dan kalau kamu berpikir tentang hal ini, kebanyakan kisah cinta memang selalu dimulai dari hal macam itu.

3
Kupikir, harusnya aku merasa beruntung dengan adanya buku itu, nyatanya memang iya. Kedua buku itu sudah membantuku mengingat masa-masa yang sudah berlalu, maksudku aku cuma tinggal baca saja, gak usah capek-capek nulis kalau ingin mengenang apa yang dulu pernah aku dan Lia alami.

Apalagi sebagian besar cerita yang ada di dalam buku itu, memang sangat sesuai dengan kejadian sebenarnya, malahan aku merasa ceritanya cukup detil. Entah bagaimana Lia bisa mengingat semuanya, padahal kejadiannya sudah lama sekali.

4
Gak tahulah. Pokoknya aku mau berterimakasih ke Pidi Baiq, pertama-tama untuk kedua bukunya yang kudapatkan secara gratis. Maksudku, tanpa perlu melihat situasi ekonomi saat ini, kita perlu memahami alasan mengapa kebanyakan dari kita lebih suka dikasih daripada membeli. Kedua, ya itu tadi, bisa membantu aku mengingat lagi masa-masa remajaku di saat aku masih bersama dengan Lia.

Sekalian aku juga mau bilang terimakasih ke Lia, karena kata Pidi Baiq, data dan informasi untuk menulis buku itu 60% adalah bersumber dari Lia sendiri. Itu artinya Pidi Baiq hanya mengolah data yang bersumber dari Lia untuk kemudian dia susun menjadi sebuah buku novel yang lengkap, dan dari apa yang sudah dia lakukan itu, segalapuji bagi Allah, Pidi Baiq dapat uang royalti.
“Tapi setengahnya, aku kasih ke Lia”, katanya
“Royalti?”
“Iya”, jawabnya. “Lia juga harus dapat”

Ini berarti bisa sama-sama kita katakan, bahwa buku “DILAN, dia adalah Dilanku”, semua cerita di dalamnya berdasar pada apa yang bisa diingat dan dikatakan oleh Lia, dan kukira itu adalah haknya karena selain diriku, Lia juga adalah pemilik masa lalu yang bersangkut paut dengan kisah asmara antara aku dan dia. 

5
Tanggal 15 Agustus 2015, Pidi Baiq datang ke rumahku. Kami ngobrol berdua cukup lama, terutama membahas buku itu, sampai kemudian dia bilang bahwa katanya dia mau nulis buku “Suara Dilan”, itu membuat aku ketawa karena merasa aneh ada novel macam gini. Dia juga ketawa, dan bilang “Suara Dilan” itu adalah buku yang berisi kisah aku dan Lia, sama seperti buku “Dilan, dia adalah Dilanku” tetapi bersumber dari sudut pandangku. 

Hmm. Sebenarnya aku pribadi lebih suka cerita Spiderman, yaitu Spiderman menurut versiku sendiri. Kamu harus tahu bagaimana Spiderman bisa dikalahkan oleh hanya dua cucu Kelongwewe. 
Atau kalau bukan yang itu, aku lebih suka cerita tentang si Piyan yang pernah nyihir aku jadi seekor kucing, cuma agar dengan itu aku bisa dikejar sampai depresi dan kehilangan nafsu makan. Si Piyan emang gitu, menurut pribadiku dia itu sedikit lebih baik dari kuman, makanya jangan sampai kamu heran kalau ada banyak kuman yang mau ke dia.

Cerita tentang Spiderman versiku, atau cerita tentang aku yang disihir jadi kucing garong, kurasa lebih oke daripada harus bercerita tentang kisah asmaraku dengan Lia. Maaf, maksudku pada situasi yang serius, sebetulnya aku merasa gak enak kalau harus nyeritain lagi apa-apa yang dulu pernah aku alami dengan Lia, mengingat Lianya juga sekarang sudah menjadi istri Mas Herdi yang sangat aku hormati. 

Biar bagaimanapun soal ini harus aku katakan karena, dari dasar hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin kelak ada salah tanggap dengan apa yang aku ceritakan tentang Lia dan orang yang sudah bersamanya sekarang.  Samasekali aku tidak bermaksud mau berdebat soal ini, tetapi itulah yang aku pikirkan. 

6
Pidi Baiq mengerti, dan kemudian dia bilang, bahwa pada intinya bukan lagi soal asmara. Novel “Suara Dilan” harus bisa menjadi pelajaran buat mereka yang baca. Hah? Pelajaran macam apa? Entahlah, tapi setidaknya ada orang yang bilang bahwa novel Dilan itu bisa dianggap seperti buku taktik menguasai wanita. Mungkin Pidi Baiq bercanda, tetapi bisa jadi begitu oleh orang yang menganggapnya begitu.  

Katanya, di buku itu ada juga pelajaran ekonomi, terutama cerita tentang aku ngasih kado ulangtahun berupa buku TTS yang sudah kuisi. Aku ketawa karena aku berpikir barangkali itu berdasar pada seolah-olah aku sedang berusaha ngajarin bagaimana caranya ngasih kado dengan biaya yang irit, meskipun jujur saja, sebetulnya bikin capek, karena harus begadang semalaman untuk bisa mengisi jawabannya. Tapi justeru emang di situlah nilainya: Perjuangan he he he!  

Ada juga pelajaran olah raga. Berantem itu, katanya, sama seperti olahraga. Sama-sama melakukan gerakan badan sampai ngeluarin keringat, meskipun badan kita jadi sakit dikarenai oleh luka! Tapi harus mikir panjang, jangan sampai asal berantem. 

Sedangkan di buku DILAN kedua, di situ sepertinya Lia banyak nangis! Tapi katanya, itu juga memberi kita pelajaran, yaitu pelajaran Biologi, bahwa air mata itu, air mata yang mengalir di pipi itu, adalah kelenjar yang diproduksi oleh proses lakrimasi untuk membantu membersihkan dan melumasi mata kita he he he.

7
Pidi Baiq terus membujukku untuk mau membantu dia mewujudkan buku “Suara Dilan”, oke, tapi aku tidak benar-benar punya waktu yang dijadwalkan untuk duduk dan menulis macam dia. 
Juga, bukan orang terbaik yang bisa menceritakan kisah-kisah macam itu. Tapi kalau cuma ngasih masukan sebagaimana Lia lakukan, sepertinya aku siap. Mudah-mudahan bisa aku nikmati meskipun aku tidak pernah berpikir berencana untuk menulis cerita macam ini.

Siaplah kalau begitu, aku mau cerita. 

Tapi maaf, kalau aku tidak sepandai Lia di dalam mengatakan perasaan. Aku hanya akan menulis apa-apa yang diperlukan dengan tanpa harus mengulang apa yang sudah Lia kisahkan. Semua yang aku katakan hanya akan mengacu kepada apa yang bisa kuingat dan kepada apa yang ingin aku katakan. 

Aku akan menceritakannya dengan berusaha sedikit memilah mana-mana yang aku rasa perlu saja. Dan dengan cara tertentu aku juga akan coba mengatur, agar apa yang aku katakan tidak sampai menyinggung perasaan seseorang yang terlibat di dalamnya. 

Cerita ini akan aku mulai dengan pengenalan singkat tentang diriku, dan beberapa informasi yang menjadi latar belakang hidupku, baik sebagai kenangan atau mungkin bisa dianggap sebagai sesuatu yang cukup andil di dalam mempengaruhi sifat dan kepribadianku. Karena pengalaman akan terus sepanjang waktu mempengaruhi hidup seseorang 

Mudah-mudahan, setelah ini, kita bisa menjadi bijaksana dengan tidak mengadili masa lalu oleh keadaan di masa kini.


BAB II

AKU


1
Langsung saja. Namaku Dilan, jenis kelamin laki-laki, bernafas menggunakan paru-paru, sama seperti seekor paus. Tahun 1977, pernah ingin jadi macan, tapi itu gak mungkin.

Aku lahir di Bandung, dari seorang Ibu yang oleh anaknya dipanggil Bunda, kecuali kalau akunya sedang mau minta uang, aku memanggilnya “Bundahara” (seperti yang sudah Lia  ceritakan di dalam buku itu). Tapi aku pernah sekali memanggilnya Sari Bunda, yaitu pada kasus di saat aku ingin makan.

Asal tahu saja, ibuku, si Bunda itu, adalah Pujakesuma, tetapi bukan bunga, melainkan akronim dari Putri Jawa Kelahiran Sumatera, karena dia lahir di Aceh, tepatnya di kota Sigli, ibu kota kabupaten Pidie. Dia alumnus IKIP Bandung, jurusan Sastra dan Bahasa. Ayahnya seorang guru SD, yang dulu di daerahnya dikenal sebagai seorang penyair kelas lokal.  

Sejak nikah dengan Ayah, dia selalu dibawa pindah, yaitu ke berbagai daerah di Indonesia. Hidup ini, kata Einstein, bagai naik sepeda. Untuk tetep bisa di dalam keseimbangan, harus terus bergerak. Tapi bukan karena itu ayahku pindah, melainkan karena tugas dari komandan, salah satunya ke daerah Teluk Jambe, Karawang.

Waktu aku duduk di kelas 3 SD, kami pernah tinggal di Kabupaten Manatuto, salah satu kota di daerah Timor-Timur yang dulu masih bagian dari wilayah Indonesia sebagai propinsi. Terus pindah lagi ke Ambon, terus pindah lagi ke Manahan, Solo, tapi cuma sebentar, gak tau kenapa. 

Hidup berkembang, di saat anak-anak sudah mulai tumbuh besar, Bunda sudah merasa cukup baik untuk memilih tinggal di Bandung, yaitu di kota tempat dulu dia kuliah, sekaligus menjadi mungkin untuk bisa lebih dekat dengan saudara-saudara ayahku yang pada tinggal di Bandung, karena ayahku adalah asli orang Bandung. 

Waktu aku duduk di kelas 5 SD, ayah membeli rumah di komplek perumahan Riung Bandung, sebagai fasilitas untuk membangun rumah tangga yang sakinah dan mawardah di bawah iringan lagu-lagu Rolling Stones kesukaan si Bunda, dan suara gelak tawa dari kawan-kawan kuliahnya kalau mereka sedang pada ngumpul di rumah. 

Si Bunda tidak bisa ikut ayah yang harus tinggal di rumah dinasnya di Karawang, karena harus ngajar di salah satu SMA yang ada di Bandung. Melalui semua itu kami hanya bisa bertemu ayah kalau ayah pulang ke Bandung, yaitu setiap dia bebas tugas atau karena ambil cuti. 

Awalnya si Bunda hanya guru biasa yang ngajar bahasa Indonesia. Entah bagaimana, tahun 1989, dia naik jabatan menjadi seorang kepala sekolah di salah satu SMA yang ada di Bandung. Mengenai soal ini, ada yang harus aku syukuri, yaitu: si Bunda bukan Kepala Sekolah di SMA-ku. Sebab kalau iya, pernah aku bayangkan aku akan dimarah dua kali, ya di sekolah ya di rumah. 

Itulah ceritaku tentang si Bunda, ibuku. Jangan sampai banyak-banyak, biar buku ini tidak melenceng menjadi buku biografi si Bunda. Apalagi Lia sudah bercerita cukup banyak tentang si Bunda di dalam buku “Dilan, dia adalah Dilanku”. 

2
Sekarang tentang ayahku. Dia lahir di Bandung. Dulu aku mengira, pekerjaan ayahku adalah berpindah-pindah tempat, seperti nabi Ibrahim yang nomaden, nyatanya ayahku adalah seorang anggota TNI-AD yang suka lagu “What A Wonderful World” nya Louis Armstrong atau “My Way” nya Frank Sinatra dan ditambah lagu-lagu perjuangan Indonesia.   

Selain sebagai seorang prajurit sejati yang lumayan cukup galak, ayahku bisa berubah menjadi seorang pria yang manis, dan juga romantis. Dia tidak pernah lupa nulis surat untuk kami di saat mana dia sedang jauh di tempat tugasnya. Seperti yang bisa kuingat, dia nulis kira-kira begini: “Jangan kuatir, ayah hanya jalan-jalan. Di sini, ayah terus gembira karena Ayah yakin akan segera bertemu dengan kalian. Ayah tidak punya musuh. Ayah membela Indonesia dari mereka yang mau ganggu”

Ayahku orang yang tegas kalau bicara tetapi cepat untuk tertawa. Dia dapat berkomunikasi dengan anak-anaknya di dalam berbagai cara. Suatu hari, waktu aku masih duduk di kelas 6 SD, aku pulang ke rumah terlalu malam karena ada acara bersama teman-teman. Aku kaget, karena pintu rumah dibuka oleh ayah. Kupikir dia tak akan pulang ke Bandung malam itu.  Aku benar-benar berhadapan dengan ayahku yang berdiri kokoh menghadang:  
“Siapa kamu?!”, tanya dia seperti kepada orang asing. Tangannya berkacak pinggang. Mukanya serius. Matanya menatapku dengan pandangan yang tajam. Awalnya aku bingung, setelah aku merasa harus ikut permainannya, kujawab dia dengan sambil memandangnya:
“Dilan!”
“Siapa ibumu?”
“Bunda!”
“Siapa ayahmu?”
“Kamu!”, jawabku spontan. Aku tidak bermaksud untuk menjawab tidak sopan. Itu, aku menjawab dengan refleks karena dia bertanya cukup cepat. Ayah langsung ketawa dan kamu jadi tahu dia tidak benar-benar serius menginterogasi. Aku selalu memiliki beberapa momen terbaik bersamanya. 

Sepertinya dia tahu dia memiliki waktu yang sibuk sehingga merasa harus menghemat waktu yang baik untuk keluarganya. Jika ada waktu, kami suka pergi ke tempat-tempat wisata di bawah jaminan tiket diskon khusus untuk keluarga anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI). 

Atau jalan-jalan ke tempat-tempat yang ada di Bandung. Aku pernah diajak ke tempat billiard di daerah Kiara Condong. Sebagai seorang anak SMP kelas satu, tentu saja itu bukan tempat yang baik menurut para pakar pendidikan, tapi malam minggu itu ayah mengajak aku dan kakakku pergi ke sana.

Apa yang aku dan kakak aku lakukan hanya duduk minum Green Spot dan kacang goreng sambil nonton ayah bermain billiard. Masih bisa aku ingat waktu itu ayah main billiard bersama Abah Apeng (Bandar togel dari Cicadas) dan Kang Ceper (penguasa tempat itu). Tentu saja aku mengenalnya karena ayah pernah cerita tentang mereka. 
“Kalau Abah Apeng itu, bandar judi”, kata Ayahku di perjalanan kami pulang
“Gak boleh judi, Ayah”, kata Bang Landin
“Iya dong. Gak boleh,” jawab Ayah. “Ayah cuma berteman”
“Ayah ikut judi gak?”, kutanya
“Ayah sudah bilang cuma berteman”, jawab Ayah
“Iya”
“Jangan bilang ke Bunda, kita dari tempat billiard,” kata ayahku kemudian. 
“Jangan bohong, Ayah”, kata kakakku.
“Oh iya”, jawab ayahku. “Bilang ke Bunda udah dari tempat Billiar, terus nanti kita janji gak 
akan ke sana lagi”

Sesampainya di rumah, si Bundanya sudah tidur, sehingga yang buka pintu Bi Diah. Besoknya Bunda tidak bertanya dari mana kami semalem. Syukur alhamdulilah, sehingga dengan itu kami jadi gak perlu janji ke si Bunda untuk tidak akan pernah datang lagi ke tempat billiard. 

Tahun 1997 (kalau gak salah), yaitu waktu aku sudah tingkat akhir kuliah, ada khabar bahwa tempat billiard itu diserbu oleh kelompok tertentu, kemudian aku tidak pernah melihat tempat itu lagi sampai sekarang. 

Aku tidak mau memberi pandangan tentang apa yang dilakukan oleh kelompok agama itu, yang  pasti, biar bagaimana pun, tempat itu menjadi salah satu saksinya untuk banyak kenangan yang pernah aku alami bersama ayah. 

Mau gimana lagi, apapun yang kau katakan, secara pribadi aku berterimakasih kepada Ayah bahwa aku pernah punya kesempatan untuk pernah datang ke tempat itu dan aku tidak pernah datang lagi ke tempat seperti itu sampai sekarang. 

Setiap aku mengenang ayah, aku masih ingat bagaimana ayahku begitu riang dan nyanyi dengan suara keras di kamar mandi, seolah-olah dia tidak akan pernah lupa untuk melakukan hal itu setiap kali sedang mandi:

“Hampir malam di Jogya
Ketika keretaku tiba
Remang remang cuaca
Terkejut aku tiba tiba”

Kalau ada anaknya yang cemberut disebabkan karena ngambek oleh masalah yang sepele, biasanya dia datang untuk duduk di sampingnya dan aku masih ingat dia pernah bicara: 
“Tak ada yang selesai dengan menangis”, katanya.
“Aku gak nangis”
“Masa ada air matanya?”
“Gak tau”, kataku langsung telungkup di atas sofa, sambil menghapus air mata diam-diam. Aku masih TK waktu itu.
“Bunda! Air mata siapa di pipi Dilan?”, Ayah nanya ke Bunda dengan agak teriak karena si Bundanya sedang ada di ruang tengah.
“Air matanya laaah!!”, jawab Bunda
“Bukan katanya”
“Diaaaam!”, kataku sambil terus telungkup.

Pada masa mudanya, ayahku cukup dekat dengan berbagai lapisan masyarakat. Selain dekat dengan Pak Asni, ulama di daerahku, dia juga dekat dengan preman-preman di wilayah tertentu yang ada di Bandung. 

Kadang-kadang ayahku sering nyuruh Mang Saman untuk ngantar dia ke tempat yang mau dia tuju, menjadi seperti sopir pribadi. Dan kamu harus tahu Mang Saman itu siapa, dia adalah salah seorang preman yang ada di daerah Buahbatu. 

Sesekali Mang Saman suka datang ke rumahku bersama istrinya, termasuk untuk membetulkan mobil Nissan si Bunda kalau mogok. Sedangkan istrinya akan diam di dapur untuk membantu Bi Diah membuat masakan. 

Kalau ayah lagi di rumah, kadang-kadang suka nyuruh Mang Saman ngajak aku dan Disa  jalan-jalan. 
“Asiiik!”, kata Disa. Kalau gak salah waktu itu Disa masih TK dan aku sudah kelas 5 SD (Aku hanya bisa ngira-ngira, karena benar-benar sudah lupa)

Kami pergi dengan Mang Saman menggunakan mobil Nissan. Tidak jauh, hanya menyusuri jalan di komplek perumahan yang belum rame kayak sekarang. Betul-betul masih sepi sehingga Mang Saman bisa nyetir dengan cara turun dari mobil. Entah bagaimana, dia bisa melakukannya. Dia benar-benar lari di samping mobil yang pintunya dia buka, sementara tangannya masih terus megang setir, sehingga mobil yang sedang maju pelan bisa tetap di dalam kendalinya. Aku ketawa menyaksikan akrobat yang hanya berlangsung sebentar itu:
“Lagiiii!!!”, kataku, setelah Mang Saman loncat dan duduk lagi di bangku sopir.
“Udah ah”, kata Mang Saman, “Nanti dimarah Ayah”
“Ayah di rumah!”, kata Disa tiba-tiba.

Tidak jarang Mang Saman ngajak kami untuk nongkrong di warung kopi yang dulu dikenal sebagai sarang preman, sehingga oleh itu kami bisa mengenal beberapa orang di antaranya. 
“Siapa, Man?”, tanya orang gemuk bertatto ke Mang Saman. Aku lupa namanya. Dia memakai jaket jeans belel yang bagian tangannya digunting.
“Anak Pak Ical”, jawab Mang Saman
“Oh?”, kata dia. 
“Siapa namamu?”, tanya orang itu ke aku dengan muka yang ramah
“Aku Dilan, kelas 5 SD”, kujawab dengan lantang.
“Waah”, katanya
“Aku Disa!”, Disa menjawab 
“Dilan, Disa”, katanya. “Mau jajan apa?”
“Krupuk!”, kujawab sambil mengacungkan krupuk yang sebagiannya sedang kukunyah.
“Ambil aja ya. Nanti Om yang bayar”, kata dia kemudian kepadaku.  

Sekitar tahun 1983, preman-preman itu habis karena dibunuh oleh para penembak misterius atau Petrus, entah bagaimana hatiku merasa seperti berhenti saat itu. Banyak orang menduga Petrus adalah operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto untuk menanggulangi tingkat kejahatan. 

Selama persitiwa itu, Mang Saman sembunyi di rumahku. Dia selamat, tapi yang lain tidak. Mayoritas yang tewas adalah preman yang tubuhnya dipenuhi oleh tatto. Jenazahnya dimasukin ke dalam karung dan dibuang di tempat umum, salah satunya adalah kang Oji. Aku sedih karena anaknya Kang Oji adalah temanku, namanya Uung. Istri Kang Oji datang ke rumahku bersama Uung dan menangis di teras rumah di saat mereka sedang ngobrol dengan Bunda. 

Aku sangat dekat dengan Mang Saman, aku pikir dia adalah temanku. Dia meninggal tahun 1988 disebabkan oleh karena dia sakit. Sebelum meninggal dia dikenal sebagai orang yang agamis dan menjadi pengurus DKM di salah satu masjid yang ada di daerahnya. Siapa akan nyangka di ujung hidupnya Mang Saman menjadi orang yang baik sekaligus dikenal sebagai seorang Muadzin. Aku melihat ayah menangis di kuburan Mang Saman sore itu.

Itulah ayahku, sebagian tentang dia sudah Lia ceritakan di dalam buku “Dilan, Dia Adalah Dilanku”. Biar bagaimana pun, aku merasa cerita di atas perlu aku sampaikan untuk bisa memahami bagaimana aku tumbuh. 


BAB III

KEHIDUPAN REMAJAKU

1
Waktu aku SMP, aku punya sepeda. Aku pergi sekolah dengan pake sepeda sampai kelas 3 SMP, karena jaraknya tidak jauh dari rumahku. 

Sepedaku namanya “Mobil Derek”. Dulu, kalau kamu mendengar aku pergi ke sekolah dengan naik Mobil Derek, harusnya sudah tidak perlu kaget lagi karena kamu sudah tahu maksudku.

Apakah dengan memberinya nama itu aku punya tujuan biar sepedaku jadi keren dan gagah? Oh, aku gak tahu. Mungkin semacam terserah aku mau ngasih nama apa, karena itu sepedaku. Tetapi pamanku protes. Dia itu ayahnya si Wati, namanya Ibrahim, aku biasa memanggilnya Mang Iim.
“Masa’ sepeda namanya Mobil Derek?”. 
“Iya. Namanya Mobil Derek. Mobil Derek bin Kontainer”, kataku ke dia tanpa maksud menjawab omongannya. Itu aku bicara sebagai seorang anak kecil yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP.

Berbeda dengan si Bunda, kalau dia bisa cuek. Menurutku, dia itu orang dewasa yang bisa bicara sebagai seorang anak kecil ketika sedang berbicara dengan anak yang masih kecil. 
“Bunda, lihat Mobil Derek?”, tanyaku ke si Bunda sambil nyari sepeda di halaman depan rumah karena mau kupake.
“Mobil Derekmu?” Bunda nanya balik, seperti sama sedang nyari. 
“Iya”
“Oh, dipake Bi Diah”, katanya kemudian. “Minjem bentar, ke warung”
“Bi Diah gak boleh naik Mobil Derek”, kataku dengan sedikit agak kesal
“Sebentar kok”

Sejak mulai kelas satu SMA, aku ke sekolah tidak pake sepeda lagi, karena jaraknya cukup jauh. Sebetulnya bisa saja pake sepeda, tapi capek. Gak mau. Kadang-kadang aku naik angkot ke sekolah, tapi lebih sering naik motor. 

Pulangnya nongkrong di daerah Gatot Subroto, yaitu semacam warung kopi punya Kang Ewok. Dipanggil Ewok karena dia itu brewok. Tempatnya enak untuk nongkrong. Di sana, aku biasa kumpul bersama Burhan, Ivan dan lain-lain. 

Kami bergaul dan melakukan hal bersama-sama yang nampaknya lebih menyenangkan daripada diam gak jelas di rumah yang dulu belum ada internet. Dan di sana juga untuk pertama kalinya aku mulai merokok, tentu dengan perasaanku yang cemas karena kuatir ketauan sama si Bunda.





Demikianlah Artikel MILEA, SUARA DILAN

Sekianlah artikel MILEA, SUARA DILAN kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel MILEA, SUARA DILAN dengan alamat link http://pidibaiqblog.blogspot.com/2016/03/milea-suara-dilan.html
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : MILEA, SUARA DILAN

2 komentar: